STANDAR KOMPETENSI
Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung
Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung
Kompetensi Dasar
Mengidentifikasi Unsur Sastra (intrinsik dan ekstrinsik) yang disampaikan secara langsung atau melalui rekaman
Mengidentifikasi Unsur Sastra (intrinsik dan ekstrinsik) yang disampaikan secara langsung atau melalui rekaman
- MATERI
POKOK
Tema - Alur
- Penokohan
- Setting
- Amanat
- Sudut pandang
• Struktur cerpen dibentuk oleh unsur instrinsik dan
ekstrinsik.
Unsur instrinsik cerpen:
Unsur instrinsik cerpen:
-
Tema
-
Alur
-
Penokohan
-
Latar atau setting
-
Amanat
-
Sudut pandang
-
Gaya bahasa
Unsur ekstrinsik
Latar belakang pengarang
Latar belakang pengarang
• Situasi
sosial ,budaya,ekonomi,sejarah yang melatari lahirnya karya tersebut.
TEMA
Tema adalah ide dasar cerita
Tema adalah ide dasar cerita
Cara menentukan tema:
• Persoalan
yang sedang dihadapi para tokoh
• Hal
yang paling banyak menyita perhatian para tokoh
• Cara
para tokoh menyelesaikan persoalan itu
ALUR
Alur adalah urutan rangkaian peristiwa yang mengandung hubungan sebab-akibat
Alur adalah urutan rangkaian peristiwa yang mengandung hubungan sebab-akibat
Cara mengetahui alur cerita:
1. Dengan mendata setiap peristiwa yang ada dalam cerita
2..Dengan mengurutkan rangkaian cerita tersebut
Struktur Alur
1. Perkenalan
2. Penggawatan/masalah/konflik
3. Klimaks
4. Peleraian/anti klimaks
5. Selesai/Penyelesaian/ending
PENOKOHAN
Penokohan adalah merupakan cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Watak tokoh biasanya ditampilkan melalui analitik dan dramatik.
Penokohan adalah merupakan cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Watak tokoh biasanya ditampilkan melalui analitik dan dramatik.
1. Secara analitik :pengarang menceritakan atau menjelaskan
watak tokoh cerita secara langsung.
2. Secara dramatik:pengarang tidak secara langsung
menceritakan watak tokoh tetapi melalui:penggambaran fisik dan perilaku
tokoh,lingkungan kehidupan tokoh,cara berbahasa tokoh dan jalan pikiran tokoh.
• Contoh
pengambaran watak secara analitik
Afifah namanya.Dia anak yang cantik ,anggun,pintar,kaya raya,baik hati dan ceria.dia anak yang sempurna,sangat sempurna ,tapi hanya satu kekurangannya dia sangat manja.sekarang dia duduk di kelas VII SMP dan sedang menghadapi UAS
Afifah namanya.Dia anak yang cantik ,anggun,pintar,kaya raya,baik hati dan ceria.dia anak yang sempurna,sangat sempurna ,tapi hanya satu kekurangannya dia sangat manja.sekarang dia duduk di kelas VII SMP dan sedang menghadapi UAS
• Contoh
penggambaran watak melalui bentu fisik dan perilaku tokoh
Seorang gadis berambut panjang terurai basahkena air hujan menghampiriku.Ah ,dia tidak menghampiriku.Dia hamya imgin mencari perlindungan dari guyuran hujan sepertiku.Celana dan kaos hitamnya terlihat basah.Setelah sampai di dekatku ,dia memberi seulas senyuman.Barisan giginya putih rapi.Bibirnya tipis .Gadis ini cantik
Seorang gadis berambut panjang terurai basahkena air hujan menghampiriku.Ah ,dia tidak menghampiriku.Dia hamya imgin mencari perlindungan dari guyuran hujan sepertiku.Celana dan kaos hitamnya terlihat basah.Setelah sampai di dekatku ,dia memberi seulas senyuman.Barisan giginya putih rapi.Bibirnya tipis .Gadis ini cantik
Contoh penggambaran watak melalui lingkungan kehidupan
tokoh.
• Desa
Mojorejo tidak kebagian aliran listrik.Padahal ,kampung-kampung tetangannya
susah pada terang semua.Desa itu gelap gulita kalau malam,cepat becek kalau
hujan tiba.Banyak keluarga miskin di sana
Contoh penggambaran watak melalui cara berbahasa tokoh
• Kata-katanya
sering membuat merah orang yang mendengarkannya.Teriakan yang mengancam begitu
mudah mengucur dari mulutnya sehingga sering membuat orang-orang yang
baru mengenalinya menjadi takut. Logatnya memang tidak seperti
orang-orang kebanyakan, ia seperti orang dari daerah pedalaman
Contoh penggambaran watak melalui jalan pikiran tokoh
• ''Pertempuran
di Surabaya tidak seperti di Magelang. Yang sangat dibutuhkan ialah pemuda-pemuda
yang sudah berpengalaman, terutama, bekas Heiho, Peta, atau KNIL. Apa gunanya
ke medan pertempuran kalau hanya akan mati konyol?'' Kami tertunduk. Tapi
komandan itu tak mau mengecewakan kami. Mula-mula dia usulkan supaya kami
membantu saja di Mojokerto. Itu terang kami tolak. Aku jadi murung, sebab
ternyata tidak gampang untuk memasuki Surabaya. Aku juga tidak tahu harus
bagaimana. Ada kebimbangan dalam hatiku. Apa mesti kuceritakan kepada
kawan-kawan di kampung kelak, kalau aku pulang? Kami sudah berpamit untuk
pergi berperang di Surabaya dan kami pergi ke Surabaya dengan ongkos sendiri.
Dan kini kami menemui jalan buntu.
Latar atau setting
• Latar
adalah merupakan tempat ,waktu dan suasana yang digunakan dalam suatu cerita
AMANAT
• Amanat
merupakan pesan penulis melalui karyanya atau pelajaran yang dapat dipetik
setelah membaca cerita.
SUDUT PANDANG
Cara pengarang menempatkan tokoh dalam cerita :
• Orang
pertama Pengarang sekaligus menadi tokoh utama dalam cerita (kata ganti aku)
• Orang
ketiga pengarang berada diluar cerita(kata ganti dia)
TOKOH
• Tokoh
: pemain/orang yang berperan dalam
cerita.
Tokoh dilihat dari watak : protagonis,
antagonis, dan tritagonis
Tokoh dilihat dari kedudukan dalam cerita :
tokoh utama(sentral) dan tokoh bawahan
(sampingan)
cerita.
Tokoh dilihat dari watak : protagonis,
antagonis, dan tritagonis
Tokoh dilihat dari kedudukan dalam cerita :
tokoh utama(sentral) dan tokoh bawahan
(sampingan)
• Tokoh
Utama (Protagonis)
• Tokoh
Antagonis = Tokoh yang berlawanan dengan tokoh utama.
• Tokoh
Tirtagonis = Tokoh pelerai.
• Tokoh
pembantu / peran pembantu / figuran
Gaya bahasa
• Gaya
Bahasa adalah cara khas seorang pengarang dalam mengungkapkan ide, gagasannya
malalui cerita.
Macam-macam konflik
Konflik fisik disebabkan oleh perbenturan antara
tokoh dengan lingkungan alam. Misalnya,seorang tokoh mengalami permasalahan
ketika banjir melanda desanya.
Konflik sosial disebabkan oleh hubungan atau masalah
sosial antar manusia. Misalnya, konflik terjadi antara buruh dan pengusaha di
suatu pabrik yang mengakibatkan demonstrasi buruh. Konflik Internal adalah
konflik yang terjadi dalam diri atau jiwa tokoh. Konflik ini merupakan
perbenturan atau permasalahan yang dialami seorang tokoh dengan dirinya
sendiri, misalnya masalah cita-cita, keinginan yang terpendam, keputusan,
kesepian, dan keyakinan.
Konflik batin
CONTOH CERPEN
“ GEROBAK LEBARAN”
Gerobak
itu kotak persegi memanjang. Dua setengah meteran panjangnya, dengan lebar dan
tinggi tak lebih dari satu meter. Ada sebuah roda kecil di masing-masing sisi
gerobak, dengan kayu menjulur di keempat sudutnya sebagai sandaran. Keseluruhan
sisi gerobak itu berbahan seng yang mulai berkarat, dengan tambalan seng-seng
bekas reklame di banyak sisi—mungkin juga diniatkan sebagai hiasan, meski kusam
dan kotor. Ada gambar perempuan cantik yang mengiklankan produk perawatan
rambut, ada potret seorang aktor terkemuka menawarkan obat pusing, ada moncong
sebuah mobil yang muncul dari satu sisi ke sisi depan gerobak, seakan menjadi
petunjuk arah bagi gerobak itu berjalan. Sisi belakang gerobak itu menjadi
pintu keluar-masuk, yang terbagi menjadi dua sisi, atas-bawah, yang bisa berfungsi
sebagai jendela ketika pintu bawah tertutup dan pintu atas dibuka. Sepasang
pegangan kayu yang terjulur kaku seakan menjadi pagar yang menghalangi siapa
pun untuk datang ke pintu itu, kecuali untuk mereka berdua, sebagaimana mereka
juga tak punya banyak ruang di luar gerobak itu. Gerobak itulah yang menjadi
tempat bagi keduanya, tak ada yang lainnya. Tak ada tempat lain bagi mereka,
tak ada tempat lain bagi orang lain.
Alangkah renta mereka berdua. Keriput yang menggelambir dan
mengkerut, tubuh yang menyusut, rambut yang putih kusam, gigi yang
bertanggalan. Bibir kering yang selalu gemelutuk, memaki. Kaki yang gemetaran,
kepala yang terkantuk-kantuk, tubuh yang selalu meminta untuk berbaring. Seakan
badan tak lagi kuasa menahan tarikan tanah yang hendak mengubur mereka. Seakan
jiwa tak kuasa lagi menahan tubuh itu untuk tetap berdiri. Seperti bumi tak
lagi jenak menghidupi. Bagai orang usiran yang belum lagi menemu tempat
pelarian. Hanya gerobak itu yang mau menampung mereka.
“Hei,
ude siang ni. Bangun!” Mpok Saodah merepet sambil terus memilah-milah kertas
dan plastik yang baru diambilnya dari tempat sampah. Tak ada jawaban. Perempuan
renta itu melongok ke dalam gerobak. Di sana tergolek lakinya, Samiun.
Nape
ndak keluar-keluar lu?”
Tetap
tak ada jawaban.
“Sakit
lu? Mati? Sekalian mati saja dah….. Kalo sakit malah bikin repot aje….”
Ia terbatuk. Dimasukkannya gelas-gelas plastik bekas ke
karung putih di samping gerobak. Ia ambil beberapa lembar kardus yang baru
didapatkannya dari tempat sampah pagi itu, diselipkannya ke ruang sempit di
sisi gerobak. Tutup-tutup botol dari berbagai jenis disatukannya ke dalam
plastik hitam besar yang tersimpan di bawah gerobak.
Ketika
Mpok Saodah akan kembali melongok dari jendela gerobak, tiba-tiba pintu bawah
terbuka lebar. Sepasang kaki kusam dan kering terjulur keluar, hampir membuat
Mpok Saodah terjengkang. Ia kembali memaki-maki, lalu membalikkan badan,
kembali sibuk dengan sisa-sisa barang bekas yang telah dikumpulkannya.
Malas-malasan, Samiun keluar dari kamarnya, dari dalam kotak
gerobak. Pelan ia melangkah menuju tepian tembok pagar, duduk bersandar di
sana. Terkantuk-kantuk, merem-melek, menerawang. Biasanya dia akan
ngamuk-ngamuk kalau tidak tersedia secangkir kopi dan sebatang rokok yang jadi
teman melamun di setiap pagi. Tapi hampir sebulan ini kebiasaan itu harus
dilupakannya dengan berat hati. Tak nyaman rasanya terlalu kentara tak puasa di
bulan ramadhan.
“Lebaran
kapan?” gumamnya.
“Ape?”
“Lebaran!”
“Besok.”
Ia
diam.
“Lebarannya
masih besok. Hari ini masih puasa.”
Ia tetap diam. Tapi Mpok Saodah masih meracau. Seakan untuk
menyalurkan batuk yang tak bisa ditahannya.
“Kopinya
besok. Rokoknya besok. Sehari lagi.”
“Iye!”
katanya geram.
“Ape?”
“Iye.
Puase. Merepet mulu. Puase tahu!”
“Dibilangin
malah nyeramahin. Lebarannya masih besok tahu!”
“Susah
ngomong sama orang pikun,” ujarnya pelan, asal saja.
“Orang
sudah pikun. Susah dikasih tahu,” ganti Mpok Saodah menggerutu.
Selalu
begitu. Keduanya tak pernah tak saling sahut kata. Satu kata berkembang jadi
kalimat-kalimat panjang, berleret-leret menyeret apa saja yang ada dalam
ingatan mereka. Tak ada yang tahu apa yang menyatukan keduanya. Resep apa yang
membuat mereka tetap bersama, setua itu, senestapa itu. Mungkin juga, duka dan
derita itu yang membuat mereka harus selalu sepenanggungan. Berbagi derita
seringkali lebih melekatkan hubungan dua manusia daripada bahagia yang lekas
menguap dan dilupakan.
Mpok Saodah terbatuk hebat. Ia terbungkuk-bungkuk seakan mau
muntah. Liur meleleh dari mulutnya. Merah kehitaman.
“Mangkanye,
kalau sakit ndak usah kerje,” Samiun menggerutu sambil memalingkan muka.
Mpok
Saodah menjawab tak jelas.
“Dibilangin,
ngeyel lu. Juragan juga tutup. Ndak bisa dijual itu sampah.”
“Uhuk…
uhuk… disimpen… besok-besok juga butuh makan lu… uuuh…. Daripade lu, ngorok
melulu!” jawab Saodah membela diri.
“Disimpen-disimpen
pale lu! Ntar malem kita pindah tahu. Pikun ya lu? Barang-barangnye mau
disimpen di mane? Kalau gerobaknya penuh siape yang kuat ngedorong?”
“Katanye
ndak mau lagi ke Iklal… uhuk-uhuk… Masjidnya jauh, ndak kuat lagi….uhuk….”
“Ya,
ndak ke Istiqlal lagi. Ke lapangan sono tuh….”
“Ya udah, gerobaknya ditinggal…”
“Ditinggal?
Bego apa gila lu? Mau dicuri orang?”
“Lebaran
ndak ada yang sempet nyuri….”
“Mau
nanggung lu? Brani jamin? Kalau ilang mau tidur di mana?”
“Ya
udah….”
“Ya
udah ape? Kalau ilang, ya udah? Pake otak lu….”
“Dah,
udah….. Gerobaknye lu gendong aje…..”
Pertengkaran
yang tak ada habisnya. Bahkan di ujung ramadhan. Tapi hidup terlalu keras untuk
mempermasalahkan sekadar perang kata. Setiap hari adalah perang untuk
mempertahankan nyawa. Menyambung hidup dengan makan apa saja yang ada atau
menahan mati dari lapar berhari-hari yang biasa mereka alami.
Hari
beranjak siang. Matahari kian terik, debu beterbangan, angin yang perih di mata
terus berputar tiada hentinya. Udara pancaroba ini mungkin yang membuat Mpok
Saodah ambruk. Bisa jadi juga kerja yang tiada henti dilakukannya. Setiap saat
ini dan itu, ke sana-kemari tiada henti. Selalu saja ada yang dilakukannya.
Bolak-balik dari gerobak ke bak sampah, memilah-milah rongsokan, memasukkannya
ke kantung yang telah dipisah-pisahkan jenisnya. Selain itu, ia akan mencuci
baju, memasak air, menanak nasi, balik lagi ke barang-barang rongsokan yang
seakan tiada selesai minta ditangani. Begitu setiap hari. Mengumpulkan
barang-barang, memilah-milah, membongkar yang sudah dikumpulkan, menata ulang.
Selalu seperti itu. Juga meski sudah beberapa hari batuk menyerangnya. Batuk
yang di luar biasanya. Batuk yang kini kian parah saja. Samiun sesekali
melarang Mpok Saodah bekerja, yang berlanjut dengan pertengkaran dan makian,
yang hanya berhenti ketika Samiun mengalah atau sebab batuk Mpok Saodah yang
menghebat tak tertahankan.
Lalu sore datang, seperti menjadi penanda bagi Mpok Saodah
untuk berhenti. Tubuhnya tak lagi punya daya. Dadanya sesak, kakinya layu.
Tinggal satu tugas lagi, memasak air, menanak nasi, membeli sayur dan lauk.
Tapi ia tak lagi memiliki cukup kekuatan.
“Pak…
Pak… bangun, Pak!”
“Hmm…
ape?”
“Keluar
dulu, gih….”
Kaki
beringsut keluar, Samiun duduk membungkuk di pintu gerobak. Terkantuk-kantuk ia
pandangi Mpok Saodah yang menggelesot di sisi gerobak. Pundaknya tersangga kayu
pegangan gerobak, tangannya terkulai tepat di depan muka Samiun.
“Sakit
lu?”
“Hmm….uhuk-uhuk…
ughh….”
Lekas
Samiun keluar dari gerobak. Dipapahnya Mpok Saodah.
“Kau
beli saja nasi…. Aku mau tiduran….” Katanya lemah sebelum kemudian merebahkan
tubuh di lubang gerobak.
Samiun bingung. Ia mondar-mandir saja. Sesekali dijulurkannya
kepalanya ke dalam gerobak. Akhirnya ia duduk bersandar di tepi tembok.
Melamun. Matanya menerawang. Bertopang dagu.
Malam
merayap. Takbir bergema di mana-mana. Samiun tak mendengarkannya. Ia tak
menemukan ketentraman lagi. Mpok Saodah tak mau makan sama sekali, hanya
segelas teh manis yang masuk ke perutnya. Samiun bahkan tak berharap ada orang
yang datang mengantarkan bingkisan, seperti malam lebaran di tahun-tahun
sebelumnya. Ia hanya ingin Saodah keluar gerobak, bahkan meski untuk mengajaknya
bertengkar seperti biasa. Ia takut ditinggal sendirian.
Takbir
terus berkumandang. Menggema sampai pagi tiba. Pagi yang dingin. Sedingin tubuh
Mpok Saodah dalam dekapan Samiun. Adzan subuh membangunkan Samiun, entah dari
tidur atau lamunan. Remang-remang cahaya lampu memerah, menambah perih matanya.
Ia dekap lagi istrinya tercinta. Dingin. Kaku. Ia tak tahu apa yang akan
dilakukannya kini. Matanya berkedip dan berkejapan dalam gelap. Kembali
benaknya menerawang. Dikenangnya semua yang telah lewat. Sawah menghijau, nasi
putih dan sekerat daging di piring, cangkir alumunium yang telah penyok di
pojok gerobak, baju putih berenda, celana butut bertambal, anak-anak yang
berlarian dan tertawa-tawa, dahak yang menghitam, kasur, pentungan, beling,
kalung emas, pesawat terbang, gerobak bersayap. Mimpi dan kenyataan berbaur
jadi satu. Alangkah senyapnya. Betapa sepi hatinya. Ia terbiasa menjalani
semuanya berdua dengannya, kini ia harus memutuskannya sendiri.
Ia
pun keluar, mengemasi semua barang. Menaikkannya ke atas gerobak, di kedua
sisinya, menalikan rafia erat-erat. Merah fajar mengiringi gerobak yang
didorongnya ke Barat. Tadinya ia akan datang ke masjid, membaringkan istrinya
di sana, meski hanya di berandanya. Tapi masjid telah sepi. Pagarnya terkunci.
Hari lebaran. Pastilah orang-orang telah berbondong-bondong ke tanah lapang. Ke
sana juga gerobak itu didorongnya. Ia bahkan belum lagi tahu, apakah ia ke sana
untuk memanen koran bekas dan rejeki dari orang-orang berbaju putih bersih dan
wangi di sana, ataukah ia akan mengikuti semua prosesi itu, takbir dan rukuk,
sujud dan doa, kalimat-kalimat indah bagai mutiara, bersalam-salaman dan saling
tersenyum dan bertegur sapa. Meski hanya dari jauhan
Takbir terdengar berulang-ulang. Menggema seakan mengikuti setiap
langkahnya. Semakin dekat tanah lapang tempat sholat idul fitri dilaksanakan,
semakin keras gema takbir itu di telinganya. Pelan diarahkannya gerobak
menyeberangi jalan yang lengang. Dadanya berdegup lemah, langkahnya kian pelan,
kemudian berhenti di ujung pojok lapangan. Dibukanya pintu gerobak, dipegangnya
kaki istrinya. Dingin. Diguncangkannya. Diam. Ia pandangi barisan-barisan
jamaah yang rapi dalam warna senada. Putih dan hanya warna putih memenuhi
matanya. Ia tahu, ia tak bisa ada di sana, di barisan itu. Ia bahkan tak lagi
bisa mengikuti semuanya, meski hanya memandangnya. Tapi sudah sedekat ini,
hatinya tak lagi bisa dipisahkan dari barisan itu. Jiwanya ada di sana. Ia pun
masuk ke dalam gerobak, tempatnya dan istrinya menemukan kenyamanan di antara
hari-hari panjang di sekian tahun hidup mereka. Dipeluknya tubuh dingin itu,
tapi kini tubuhnya sendiri yang seakan akan jadi beku. Takbir terus
berkumandang. Ia berbisik ke telinga istrinya tercinta, yang kini begitu dekat,
semakin dekat saja. Ini lebaran penghabisan, takbir terakhir yang ia bagikan
kepada istrinya. Bibirnya bergumam, menggemakan takdir yang memenuhi rongga
dadanya, mengalir ke seluruh nadinya. Takbir itu bergema, bergaung, seakan
hendak menggerakkan gerobak itu memasuki barisan putih di tengah tanah lapang.
Seakan gerobak itu mengambang dan terbang ke langit, membawa mereka ke surga
yang dijanjikan. *****